Definisi
PENGAJUAN GRASI LEBIH DARI SATU KALI
Pengajuan =
proses, cara, perbuatan mengajukan; pengusulan;
pengedepanan (KBBI)
Grasi = Grasi
adalah Hak Presiden untuk memberikan pengurangan hukuman.
Pengertian Grasi Menurut Para Pakar, sebagai berikut :
Menurut Professor
Van Hamel, Pengertian Grasi adalah suatu pernyataan dari
kekuasaan tertinggi yang menyatakan bahwa akibat-akibat menurut hukum pidana
dari suatu delik menjadi ditiadakan, baik seluruhnya maupun untuk sebagian.
Menurut Hazewinkel
Suringa, Pengertian Grasi adalah peniadaan dari seluruh
atau pengurangan dari suatu pidana (pengurangan mengenai waktu atau mengenai
jumlah) atau perubahan mengenai pidana tersebut. Contoh grasi yaitu pada
perubahan dari pidana penjara menjadi pidana denda
Pengertian Grasi
secara umum adalah suatu pernyataan dari kepala negara yang meniadakan sebagian
atau seluruh akibat hukum dari sesuatu tindak pidana menurut hukum pidana.
Pengertian Grasi dalam arti sempit adalah peniadaan
dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim bagi seorang terpidana yang
telah mempunyai suatu kekuatan hukum yang tetap.
Lebih dari satu kali = sudah pernah dilakukan sekali, lalu
melakukannya kembali. Berulang.
FILOSOFIS
Latarbelakang
Ø Grasi, amnesti dan abolisi merupakan ketentuan
konstitusional dalam Bab Kekuasaan Pemerintah Negara. Dalam UUD 1945 “Presiden
memberi Grasi, Amnesti dan Abolisi”.
Ø Dalam
sejarah ketatanegaraan kita, pada tahun 1954 sudah pernah dilaksanakan Amnesti
dan Abolisi. Amnesti dan Abolisi itu diberikan kepada “semua orang yang telah
melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik
antara Republik Indonesia (Jogyakarta) dan Kerajaan Belanda”.
Ø Pelaksanaan
ini dituangkan dalam Grasi, Amnesti dan Abolisi
adalah upaya-upaya non hukum yang luar
biasa, sebab secara legalistik positivistik, suatu kasus setelah diputus
oleh Pengadilan Negeri, melalui
upaya hukum Banding diputus oleh Pengadilan Tinggi, kemudian dikasasi di Mahkamah Agung, dan jika putusan Mahkamah Agung sudah berkekuatan
hukum pasti atau tetap , maka hanya tinggal satu upaya hukum terakhir, yaitu Peninjauan
Kembali si terdakwa disalahkan dan dipidana, maka pertolongan terakhir yang
sesungguhnya bukan merupakan alur hukum, dapat ditempuh dengan mengajukan grasi
kepada Presiden.
PN –
Banding – PT – Kasasi – MA – Hukum Terakhir – PK (bukan alur hukum, pengajuan
grasi kepada Presiden)
Ø
Presiden sebagai Kepala Negara mempunyai hak prerogatif . Hak prerogatif adalah hak kepala negara untuk
mengeluarkan putusan yang bersifat
final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hak prerogatif adalah
hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh konstitusi bagi kepala negara. Sebagai
fungsi jabatan yang ‘terbebas dari
kesalahan’ maka terhadap penggunaan hak atas pemberian grasi, amnesti,
abolisi, dan rehabilitasi, diatur dalam ketentuan negara yang khusus ditujukan
untuk hal tersebut (UUD).
Ø
Substansi grasi, amnesti, abolisi dan
rehabilitasi adalah pengakuan atas
keterbatasan manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Manusia bisa
khilaf, bahwa kesalahan adalah fitrah manusia, tidak terkecuali dalam memutus
perkara. Yudikatif sebagaimana halnya Legislatif dan Eksekutif berada di
wilayah ‘might be wrong’. Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya
dalam kondisi teramat khusus.
Ø
Mengenai teori-teori
pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif
tersebut. Teori-teori ini mencari dan menerangkan
tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.
Pertanyaan seperti mengapa, apa dasarnya dan untuk apa pidana yang telah
diancamkan itu dijatuhkan dan dijalankan, atau apakah alasannya bahwa Negara
dalam menjalankan fungsi menjaga dan melindungi kepentingan hukum dengan cara
melanggar kepentingan hukum dan hak pribadi orang, Pertanyaan yang mendasar
tersebut timbul berhubungan dengan kenyataan bahwa dalam pelaksanaan hukum
pidana subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi
manusia tadi, yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri.
Ø
Misalnya penjahat dijatuhi pidana penjara atau
kurungan dan dijalankan, artinya hak atau kemerdekaan bergeraknya dirampas,
atau dijatuhi pidana mati dan kemudian dijalankan, artinya dengan sengaja
membunuhnya. Oleh karena itulah, hukum pidana objektif dapat disebut sebagai
hukum sanksi istimewa.
Jelaslah kiranya pidana diancamkan (pasal 10 KUHP) itu apabila telah diterapkan,justru menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia sebenarnya dilindungi oleh hukum.Tentulah hak menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh Negara saja.Mengenai Negara seharusnya memiliki hak ini tidak ada perbedaan pendapat.Negara merupakan organisasi sosial yang tertinggi,yang bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib/ketertiban masyarakat.Dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tugas itu,maka wajar jika Negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.
Jelaslah kiranya pidana diancamkan (pasal 10 KUHP) itu apabila telah diterapkan,justru menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia sebenarnya dilindungi oleh hukum.Tentulah hak menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh Negara saja.Mengenai Negara seharusnya memiliki hak ini tidak ada perbedaan pendapat.Negara merupakan organisasi sosial yang tertinggi,yang bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib/ketertiban masyarakat.Dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tugas itu,maka wajar jika Negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.
Sejarah Pemberlakuan Grasi
Dari prespektif sejarah, ketika Raja memiliki
kekuasaan yang pada mulanya tidak terbatas atau absolut, tetapi kemudian
dibatasi, Raja menganugerahkan “Akt der Billigkeit” (Jescheck, hal 735;
Hazewinkel-Suringa dan Remmelink, hal 738) karena adagium “lex dura, sed
scripta” (De wet is hard, maar zij is nu eenmaal zo gesehreven; hukum itu
keras/kaku, tetapi keadaannya secara tertulis demikian). Dengan perkataan lain,
Grasi berusaha melunakkan keadaan yang oleh hukum sendiri sulit untuk
ditoleransi. Wewenang toleransi dengan berbagai kebijakan yang bijaksana atas
dasar rasa kemanusiaan dengan berbagai pertimbangan yang bisa bersifat politis,
ekonomis, sosiologi, juga secara kultural, Presiden sebagai Kepala Negara
dipandang mampu untuk mengambil putusan secara bijak dalam rangka memberikan
persetujuan atau menolak grasi. Presiden dianggap dapat berfungsi sebagai
seorang Raja Sulaiman.
Sejak dahulu, grasi telah dikenal dan dipraktekkan
oleh para kaisar atau raja pada masa monarki absolut, seperti misalnya pada
zaman Yunani dan Romawi serta pada abad pertengahan di Eropa dan Asia. Kaisar
atau Raja diangggap sebagai sumber dari segala kekuasaan termasuk di dalam
kekuasaan bidang peradilan.
Di zaman Hindia Belanda sudah ada Gratie Regeling yang
diatur dalam S. 1933 No.2. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1950 Undang-Undang
Grasi Nomor 3 diundangkan dalam LN 1950 No.40. Ada beberapa catatan yang perlu
disampaikan bertalian dengan Undang-Undang Grasi tersebut di atas. Dalam pasal
2 ayat 3 dinyatakan bahwa pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum ada
keputusan Presiden berupa fiat pelaksanaan. Tenggang waktu pengajuan Grasi
adalah 14 hari. Yang menarik yaitu bahwa dalam soal Grasi ini Mahkamah Agung
meminta pertimbangan dari Jaksa Agung, kemudian Menteri Kehakiman menyerahkan
semua berkas yang diterima kepada Presiden. Kalau di Indonesia hanya dikenal
satu jenis grasi, maka di Belanda ada yang dinamakan “rechterlijk pardon”
(pengampunan hakim sejak 1 Mei 1983). Dengan adanya “rechterlijk pardon”
berkaitan dengan kesulitan keuangan dari si terdakwa, maka tidak dibutuhkan
grasi lagi.
Tahapan dari kebebasan atau ketidakterikatan non hukum
yang bersifat hak prerogratif dari seorang Presiden, Grasi sesungguhnya
memiliki beberapa hal yang memungkinkan seorang Presiden bertindak:
1. Bila seorang terhukum tiba-tiba
menderita penyakit parah yang tidak dapat disembuhkan.
2. Hakim adalah seorang manusia yang
mungkin saja khilaf atau ada perkembangan yang belum dipertimbangkan oleh hakim
pada waktu mengadili si terdakwa. Contoh yang sangat “frapant” adalah dalam
kasus “celebre” Jean Calas yang mendapat kecaman pembelaan dari Voltaire,
sehingga pada tahun 1765 harus “diadili” kembali untuk kemudian dibebaskan.
3. Perubahan ketatanegaraan atau
perubahan kemasyarakatan sedemikian rupa misalnya ketika Suharto dijatuhkan
oleh kekuatan-kekuatan Reformasi, maka kebutuhan grasi tiba-tiba terasa
mendesak, terlepas dari kasus Abolisi dan Amnesti.
4. Kalau ada ketidakadilan yang begitu
menyolok misalnya sehabis revolusi atau peperangan.
Di Belanda juga dikenal apa yang dinamakan
“voorwaardelijke gratie” yang tidak dikenal di Indonesia. Voorwaardelijke
gratie, dari namanya saja bisa dijelaskan bahwa grasi yang diberikan itu
mengandung syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh si pemohon Grasi. Misalnya,
dalam masa percobaan, bila syarat-syarat itu dilanggar, maka Grasi dapat ditarik
kembali. Juga dikenal apa yang dinamakan “collective gratie”, misalnya dengan
KB 4 November 1919 dan “Staatsbladgraties”, misalnya dalam KB 29 Agustus 1923.
1. Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
2. Presiden memberi amnesti dan abolisi
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Rumusan Pasal 14 tersebut diatas sudah begitu jelas,
dengan catatan bahwa sebelum reformasi dengan mengamandemen UUD 1945, Presiden
diberi kewenangan memberi Grasi dan Rehabilitasi dengan mempertimbangkan
pertimbangan Mahkamah Agung, kecuali dari Menteri Kehakiman sedangkan untuk
Amnesti dan Abolisi tanpa pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah
Reformasi, pendulum kekuatan berayun ke arah “legislative heavy” itu dipandang
wajar saja, mungkin berdasarkan pengalaman legislatif sebagai tukang stempel di
masa lalu. Yang menjadi problematik yaitu bagaimana bila Presiden tidak atau
kurang memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dengan lain perkataan, apakah
seorang Presiden harus “quote que quote” patuh pada pertimbangan Mahkamah
Agung. Dalam kedudukan sebagai Kepala Negara dalam konstelasi yuridis Trias
Politika, Presiden tidak mempunyai kewajiban secara “conditio sine qua non”
untuk mengikuti pertimbangan Mahkamah Agung. Secara “mutatis mutandis” juga
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan segala konsekuensi dan implikasi akibat
politik yang tidak menyenangkan.